top of page

Surutnya Pesona Danau Uter

Mungkin beberapa orang masih asing mendengar Danau Uter. Pagi itu kami bergerak dari Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat langsung menuju Distrik Aitinyo. Saya yang hanya mengekor, sama sekali tidak mengetahui informasi secara rinci mengenai danau ini. Namun saya yakin, danau ini akan memberikan sesuatu yang berbeda. Perjalanan melewati jalan yang hanya cukup untuk dua mobil saja. Fortuner hitam yang kami tumpangi membelah rimbunnya hutan di kiri-kanan jalan. Sesekali kami melintasi aneka distrik, diantaranya Distrik Wayer, Distrik Moswaren dan mulai menjauh memasuki Distrik Aitinyo Barat. Terlihat ‘mama’ yang mencuci pakaian sambil mengawasi anak-anaknya yang mandi di sungai. Jernihnya air tentu meredakan hangatnya pagi. Sungguh pemandangan yang sudah tidak akan bisa saya temui lagi di kota. Tidak hanya perkampungan, rangkaian hutan dan perkebunan warga. Usaha-usaha mikro-menengah juga terlihat di pinggir jalan dari warung kecil sampai dengan kontraktor kayu. Fasilitas umum seperti gereja, sekolah dan perkantoran silih berganti sejalan dengan bergantinya distrik. Dalam perjalanan, sopir selalu membunyikan klakson tidak hanya untuk pengemudi lain agar menyingkir memberikan jalan namun juga untuk anjing dan babi yang bersantai di tengah jalan mobil. Kami tidak mau berurusan dengan kedua hewan itu disini, karena menurut informasi apabila kami menabrak mereka maka denda berlaku dan penabrak diharuskan membayar denda tergantung jumlah puting susu binatang tersebut. Satu puting susu dihargai dua juta ! Setelah menerka dan berhitung jumlah puting susu babi sebagai denda, saya mulai melihat bukit batu yang habis dikeruk di kiri jalan. Ternyata sedang ada pembangunan jalan secara besar-besaran. Jalanan yang awalnya sempit beraspal mulai berubah menjadi lebar berbatu. Kami terpaksa harus memutar arah karena jalan sudah tertutup oleh bebatuan. Menambah durasi waktu tempuh yang dijadwalkan. Sekitar pukul 11.20 WIT kami baru sampai di Danau Uter. Dari jalan poros sampai jalan akses tidak terdapat papan petunjuk arah ketika menuju danau. Saya hanya berpatokan pada Tugu Mafa Sair sebagai peringatan masuknya injil sebelum mengambil belokan menuju danau tepatnya di Kampung Sris, Distrik Aitinyo, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Tanpa menunggu lama, kami turun dari mobil yang telah diparkirkan di tempat parkir yang sudah tersedia dan bergegas berjalan mendekati pemandangan hijau toska. Terlihat dari jarak 50 meter, beberapa pengunjung sedang menikmati segarnya Danau Uter. Sambil mencoba bersabar untuk menceburkan diri, saya menggali informasi. Belakangan diketahui bahwa sopir telah membayar Rp. 50 ribu per-mobil sebagai tiket masuk ke Danau Uter. Pengelola objek wisata yang saya cari-cari untuk diwawancara tidak nampak. Kami pun berjalan masuk lebih dalam melewati jalan setapak bersemen dan mendapati beberapa fasilitas pariwisata ramai oleh vandalisme. Beberapa bangunan permanen pun sayangnya nampak rusak dan kosong. Terlihat beberapa anak pribumi tersenyum jahil ketika saya memergoki mereka bermain air di toilet tanpa pintu. Suasana siang itu sangat tenang. Hanya terdapat satu-dua rombongan saja yang sedang sibuk menyantap perbekalan yang sengaja dibawa berikut dengan alas tikar. Keramahtamahan terlihat ketika pengunjung menawarkan makan siang pada kami. Mereka rata-rata adalah pendatang yang sedang bekerja di wilayah Papua Barat. Salah satu yang saya ajak mengobrol berasal dari Manado dan sengaja menempuh empat jam perjalanan datang ke Danau Uter dari Kota Sorong. Informasi mengenai keindahan danau mereka dapat hanya dari mulut ke mulut saja. Sungguh Danau Uter berpotensi menjadi daya tarik unggulan Maybrat.

Foto: Yoga

Pantulan langit beserta pepohonan seakan memperlihatkan cermin raksasa dari kejauhan. Semakin mendekat ke bibir danau, air bening membiru tembus pandang hingga ke dasar danau. Terlihat beberapa ikan berkoloni membentuk bercak hitam dari kejauhan. Semakin jauh memandang, batuan gamping seakan mengurung air danau. Terlihat dari garis permukaan pada bukit batu tersebut bahwa dahulu air permukaan danau ini lebih dalam. Bpk Ildrem sebagai tenaga ahli tim geologi Ekspedisi NKRI 2016 menambahkan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh proses pelarutan tanah kapur sehingga seiring berjalannya waktu, permukaan air danau akan semakin surut. Menurutnya, air tersebut akan muncul dan menggenang kembali di dataran yang lebih rendah sehingga kemungkinan akan membentuk danau serupa. Permasalahannya adalah sampai kapan pesona Danau Uter akan bertahan sebagai sebuah daya tarik pariwisata? Penataan dan kajian secara mendalam mengenai Danau Uter sangat dibutuhkan terkait pengembangannya sebagai salah satu objek wisata unggulan Maybrat mengingat pentingnya danau bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya berpotensi sebagai penyuplai pendapatan asli daerah (PAD), geliat ekonomi masyarakat sekitar kampung akan tergerak dengan adanya Danau Uter apabila dikelola secara profesional. Lebih sederhana lagi, semenjak dulu keberadaan danau selalu dipergunakan sebagai penunjang aktivitas sehari-hari masyarakat lokal seperti mencuci, mandi dan memasak air minum. Tidak hanya pariwisata, dampak akan secara langsung menyentuh masyarakat terdekat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Maybrat, peneliti UGM pernah menyimpulkan bahwa danau kecil yang bersifat temporer ini dalam kurun waktu ± 20 tahun kedepan akan hilang yang tentu saja akan menambah kekhawatiran masyarakat lokal di tepian danau. Penelitian sudah banyak dilakukan, tidak hanya UGM juga dari Universitas Hasanuddin dan Universitas Cendrawasih dalam kurun waktu 2009 sampai 2010. Sayangnya tanggapan mengenai pembendungan danau belum terealisasikan. Dana APBD diduga belum bisa memenuhi kebutuhan. Butuh kerjasama secara menyeluruh agar bisa membenahi Danau Uter. Semoga dengan tanda-tanda alam seperti ini, kita sebagai pengelola bumi menjadi semakin peka dan bijak dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi.

Teminabuan, 21 April 2016

RECENT POSTS:
SEARCH BY TAGS:
No tags yet.
bottom of page