top of page

Ambon Manise

Pesiar itu nagih. Pesiar dalam artian pergi sebentar untuk sekedar mencari hiburan atau meluruskan lutut yang sudah lama terlipat di kapal adalah salah satu kegemaran para pelaut. Namun, tidak sedikit juga teman-teman yang lebih memilih untuk berdiam diri dan sekedar tidur di kapal selama durasi pesiar. Kali ini kami diberi dua hari untuk melaksanakan kegiatan itu di Kota Ambon, kota musik.

Ajakan hangat sehari sebelum kapal bersandar muncul dari temanku yang asli dari Ambon. Sekitar sepuluh orang saja dari grup kami diundang untuk makan siang bersama di rumahnya tepatnya Kampung Tulehu Kabupaten Maluku Utara. Dengan semangat 55 saya langsung mengiyakan tawarannya dan segera bergegas bergerombol naik angkutan kota yang telah kami charter dengan harga yang sudah di-nego.

Moda transportasi cukup beragam disini. Mulai dari ojek, angkutan kota atau oto lintas -biasa disebut oleh warga setempat- serta becak berseliweran dan terkadang menimbulkan kemacetan pada titik-titik tertentu. Ya, ini adalah kota besar, ibu kota provinsi sebagai poros perekonomian. Wajar saja bila ramai seperti kota besar lainnya.

Setelah melewati pasar, perkantoran, KFC, bahkan mall, jalan mulai menyempit. Pemandangan berubah menjadi lepas pantai. Pemandu dadakan kami langsung men-stop angkutan kota dan menggiring kami untuk sekedar berfoto dengan Pantai Natsepa. Pantai yang sering dijadikan sebagai tempat bersunyi-sunyi muda mudi ini cukup ramai dijejali oleh kios-kios Rujak Natsepa dengan komposisi buah utama nanas, jambu air, pala, ubi jalar, mentimun dsb. Sayangnya kami tidak bisa menikmati karena keterbatasan waktu.

Sekitar jam makan siang, kami tiba di rumahnya. Rumah sederhana dengan atap daun sagu membuat teriknya matahari tidak terlalu terasa menyengat. Nampaknya temanku ini sudah mempersiapkan segalanya dengan matang seperti hamparan karpet dan makanan yang sudah tertata rapi. Tanpa malu lagi kami melahap gunungan nasi kelapa sebagai makanan khas Ambon dengan lauk ikan merah bakar. Beberapa teman memilih ayam dan sajian lainnya ditutup oleh buah langsat. Sungguh perutku dibuat kenyang oleh 'nyong ambon' satu ini!

Sekali lagi, waktu yang membatasi. Kami segera melaju untuk melaksanakan ibadah ke Masjid Al Fatah sebagai Masjid Raya di Kota Ambon. Letaknya yang di pusat kota sangat strategis untuk penyuka Urban Tourism karena dekat dengan pusat perbelanjaan Ambon Plaza serta monumen-monumen dan beberapa spot foto menarik. Bak reality show 'Uang Kaget' saja pesiar ini. Kami kejar-kejaran waktu sambil naik angkutan kota.

Besar, bersih dan megah merupakan kesan pertama yang didapat. Setelah agak lama memperhatikan, masjid ini berbeda dengan masjid di Jawa pada umumnya yaitu tidak ada pedagang kaki lima atau pengemis di sekitar lingkungan masjid sehingga suasana nampak begitu damai. Terlihat pula beberapa anak kecil duduk-duduk membentuk lingkaran kecil sambil mengaji bersama, menambah kesan religius.

Sambil menunggu rekan yang membetulkan laptop, saya mencoba jajanan manisan pala di pinggir jalan. Harganya hanya dua ribu rupiah saja. Manisan pala rasanya pedas manis dengan rasa agak asing di mulut. Katanya buah ini baik dimakan sebagai obat pencahar perut. Beberapa teman membeli untuk dimakan dijalan dan dibawa ke kapal, sedangkan perut saya mulai berkontraksi hebat.

Jadi ingat Pasar Baru Bandung ketika berada di Amplaz. Jejeran baju, makanan ringan bahkan CD film bajakan tersedia disini. Tanpa basa basi saya langsung mengajukan permintaan khusus pada sang pemandu, yaitu diantarkan ke penjual asesoris besi putih khas Ambon. Ingat kakak perempuan, kalung tanpa bandul saya beli disini. Harganya berkisar antara 50-100 ribu tergantung model dan kelihaian tawar menawar. Teman lainnya yang awalnya tertarik melihat baju diskon mulai berkerumun juga memilih besi putih untuk oleh-oleh.

Puas berkeliling, seorang kawan militer mengajukan usul untuk berfoto di Patung Pattimura yang letaknya tidak jauh dari posisi kami. Menurut info, patung ini sengaja dibangun sebagai pengingat bahwa jenazah pahlawan nasional tersebut ditemukan disini. Sebagai bonus sebelum menuju Patung Pattimura, tak lupa kami sempatkan berfoto di tulisan "Ambon Manise" sebagai bukti pada media sosial bahwa kami pernah kesini. Menyebrang sedikit ke arah kanan jalan, terlihat sebuah gong besar yang menarik perhatian. Gong Perdamaian Dunia bermotifkan bendera seluruh negara dengan sepuluh simbol keagamaan. Salah satu dari tiga gong perdamaian yang tersebar di Indonesia ini berukuran sebesar tiga orang dewasa. Katanya gong ini sengaja dibuat untuk memperbaiki citra Ambon yang dulu pernah identik dengan kerusuhan dan kekerasan.

Tidak terasa waktu sudah sore. Senja di Ambon cukup manis sebagai penutup pesiar kami kali ini. Sampai jumpa Ambon Manise! Semoga saya bisa menjelajahimu lagi.

Ambon, 22 Mei 2016


RECENT POSTS:
SEARCH BY TAGS:
No tags yet.
bottom of page